Indramayu.
TIDAK kurang akal bagi Dinas Pendidikan (Disdik) menguras dana BOS
sekolah-sekolah. Berbagai cara dilakukan. Ada yang mekanismenya melalui
K3S, Pengawas, UPTD dan langsung Dinas. Semuanya berpangkal dan berujung
pada bagaimana caranya dana BOS tersebut bisa diperas bahkan diperas
habis atau dikuras kalau bisa.
Sekolah-sekolah
tentu tekuk lutut mau diapakan saja. ini nistanya dalam dunia
pendidikan. Tapi itulah fakta dunia pendidikan di Indramayu.
Pada
bulan Nopember 2012, yang setiap bulannya ganti model wajib setor,
sekolah-sekolah menerima kuitansi dengan tulisan di pojokm kiri atas
bertuliskan: tidak di spj kan. Dana BOS yang disedot tersebut sebesar Rp
333.500,00/Sekolah yang dalam kuitansi, yang menerima uang adalah
RUSTIATI. Rustianti adalah Bendahara K3S rayon dan UPTD Pendidikan
Kecamatan Indramayu, yang juga Kepala Sekolah.
Rustiati
rupanya tahu betul bahwa hukum di Indramayu seperti di pasar kelontong
jual loakan, karena Rustiati dalam kuitansi berani membubuhkan tanda
tangannya. Berarti Rustiati tidak sendirian tapi sudah berada dalam
sistem yang sistemik dan sistematis.
Tidak
semua sekolah harus mengeluarkan dana BOS sebesar itu, tapi besarnya
wajib setor sangat bergantung pada jumlah murid disetiap sekolah, yang
jika dirata-ratankan, setiap siswa harus menyetorkan dana Bosnya sebesar
Rp 2.000,00/siswa. Yang tentu dana tersebut akan mengalir ke mana-mana
dalam sumbu kekuasaan, terutama ke purasan sentral kekuasaan untuk
kepentingan politiknya, karena jumlah sekolah se-Kabupaten Indramayu
cukup banyak.
Untuk
apa dana BOS sebesar Rp 333.500,00 tersebut? Rustiati berani juga
menuliskannya dengan uraian kalimat: Dana Partisipasi Kantor. Para
Kepala Sekolah bingung dengan dana partisipasi itu, tetapi kemudian
menyatakan, dana partisipasi kantor tersebut berada di meja UPTD
masing-masing. Nah, ini dia soalnya, yang jawabannya sudah ditemukan
oleh Kepala Sekolah sendiri. Hebat, bukan Indramayu. Berkat kepemimpinan Pak Yance atau NKRI (Negara Kerajaan Irianto).
O’ushj.dialambaqa
Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) mengatakan,
jika seribu pengamat yang kritis ditempatkan di Indramayu, pastilah
sudah kehabisan kata-kata untuk bisa menjelaskan atau mengungkapkan
pengamatannya.
Jika
ada sejuta peneliti sosial ditempatkan di Indramayu, pastilah kehabisan
uraian kalimat untuk menyimpulkannya terhadap fakta konkret realitas
yang membudaya di Indramayu.
Tetapi
jika ada sejuta pelukis atau penyair atau novelis atau sastrawan yang
sejati, pastilah tidak akan kehabisan kata-kata untuk menuliskannya,
karena kegelisahan yang terus menerus berkecamuk dalam nuraninya.
Jika
ada berjuta-juta akademisi yang Doktor dan atau Prof. DR ada di
Indramayu, pastilah tak bisa lagi menguraikan teori-teori sosial dan
eksakta yang hanya hafalan untuk persiapan mengajarkan pada para
mahasiswanya, karena teori-teori tersebut ternyata tak bisa
diimplementasikan atau tidak bisa untuk melakukan pengujian kebenaran
fakta.
Namun,
jika ada berjuta-juta bahkan ratusan juta penyair (sastrawan) salon di
Indramayu, pastilah sudah kehabisan kata-kata untuk menulisnya, bahkan
tidak bisa lagi untuk mengungkapkannya dalam sajak-sajak atau
pusi-puisinya, karena kegelisahannya telah dibunuh dengan materi
kekuasaan penguasa. Kegelisahannya telah ditukarkan dengan kenyamanan
materi penguasa.
Yang
luar biasa adalah para auditor baik dari Inspektorat maupun auditor
dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang malaikatnya Negara, ternyata
ketika memeriksa kuitansi yang bertuliskan “tidak di spj kan” pada saat
mengaudit, matanya dipejamkan atau memejamkan matanya, sehingga
berpuluh-puluh kuitansi yang serupa di setiap sekolah, UPTD, Disdik dan
SKPD/OPD tidak terlihat, dan tidak akan kelihatan. Itulah hebatnya
hegemoni kekuasaan NKRI – Bupati – Yance.
Lantas
para wartawan bodrek dan LSM kardus mengikuti jejak Inspektorat dan
BPK, memejamkan mata untuk mengutip para Kepala Sekolah yang ketakutan,
karena bocornya dana BOS diketahui oleh para wartawan bodrek dan LSM
kardus tersebut. Maka, menjadi double triple.
Para
anggota Dewan , terutama yang berada dalam Komisi B (Bagian
Pendidikan), bisu sejuta bahasa dan lebih suka menjadi patung
hidup-hidupan. Yang seharusnya tanggap darurat tapi ternyata tidur
darurat, bahkan kemudian tidak peduli lagi, karena kesibukannya studi
banding ke luar daerah, dan bila perlu ke luar negeri.
Ini
menjadi ironis dan fantastis, tapi itulah fakta, bukan itulah fiksi.
Padahal dalam realisasi APBD semua operasional kantor, pemeliharaan
kantor dan seterusnya semua ditanggung APBD dan telah dikeluarkan oleh
APBD. Ternyata, sukanya keluar double-double. Enak rupanya. Jika keluar
terus-terusan ya payahlah, dan rusak jadinya. **Tim KJ1001***.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar