TULISAN
Saya ini masih berkisar soal Yance. Mengapa Yance, bukan yang lain,
karena Yance memang lebih layak diperbincangkang menimbang masa
kekuasaannya yang terus berlanjut sampai sekarang, sekalipun sudah tidak
lagi menjabat sebagai Bupati Indramayu. Dan jika saja Saya adalah
seorang mahasiswa yang sedang mengerjakan Tugas Akhir, baik berbentuk
Skripsi, Tesis maupun Disertasi, niscaya Yance-lah yang akan saya
jadikan problem penelitian.
Pada
kesempatan ini Saya akan mengurai sedikit tentang bagaimana kelak pada
Pilgub Jabar 2013 Yance akan mendulang suara melalui Pegawai Negeri
Sipil (PNS) baik yang memiliki jabatan struktural seperti Lurah, Kepala
Seksi, Camat hingga Kepala Dinas hingga PNS yang hanya bertugas sebagai
pelaksana (fungsional) seperti, misalnya, guru.
Berbicara Yance adalah berbicara dua hal. Pertama, Yance sebagai person (individu) dan, kedua,
Yance sebagai sebuah struktur berisi kaidah atau norma-norma tertentu
yang harus dijalankan oleh PNS. Yance sebagai person adalah Yance yang
manusia biasa dan individual, sementara Yance sebagai sebuah struktur
adalah seperangkat aturan dan norma-norma tertentu sebagai pelembagaan
dari perkataan dan tindakan politik Yance. Untuk yang terakhir ini
marilah kita sebut hal itu sebagai Struktur Yance.
Menurut
Jean Piaget struktur adalah suatu tatanan wujud-wujud yang mencakup
keutuhan, transformasi, dan pengaturan diri. Dikatakan “keutuhan” karena
tatanan wujud itu bukannya kumpulan semata melainkan karena tiap-tiap
komponen struktur itu tunduk kepada kaidah intrinsik dan tidak mempunyai
keberadaan bebas di luar struktur. Dikatakan “transformasi” karena
struktur itu tidak statis dan bahan-bahan baru terus-menerus diproses
oleh dan melalui struktur itu. Dikatakan “pengaturan diri karena
struktur itu tidak pernah meminta bantuan dari luar untuk melaksanakan
prosedur transformasional tersebut; Jadi struktur itu bersifat
“tertutup” (Harimurti Kridalaksana: 2005). Sebagai misal adalah, bila
kita mengendarai sepeda motor atau mobil, dan kita menyalakan lampu
tanda belok kiri, tindakan kita menyalakan lampu itu tidak akan dipahami
oleh pengendara di belakang atau di depan kita kecuali sudah ada
semacam skemata tata lalu-lintas yang berlaku dalam masyarakat
bersangkutan. Adanya skemata itu (dalam hal ini aturan lalu-lintas)
memungkinkan kita melakukan tindakan belok kiri dengan aman (B. Herry
Priyono: 2002). Itulah pengertian struktur yang kita gunakan dalam tulisan ini. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Struktur Yance adalah semacam rambu-rambu tindakan PNS agar bersesuaian dengan kepentingan politik Yance.
Cara
kerja struktur berisi rambu-rambu tindakan tadi mirip cara kerja
ideologi. Ideologi menentukan sederetan perintah dan larangan; sebuah
fakultas yang mengajak pada suatu tujuan tertentu (Murtadha Muthahhari:
2001) dimana ketundukan terhadap sederetan perintah dan larangan sebagai
rambu-rambu tindakan PNS tersebut dijaga lewat pemberian sangsi positif
(hadiah) dan sangsi negatif (hukuman).
Implementasi Struktur Yance
Visi
politik Yance, yang mana visi tersebut dilanjutkan oleh istrinya, Anna
Sopanah sebagai Bupati Indramayu, adalah Indramayu REMAJA: Religius,
Maju, Mandiri dan Sejahtera. Visi politik ini tak lain dari imajinasi
sosio-kultural yang keberhasilannya diukur secara selektif-kuantitatif.
Selektif kuantitatif artinya adalah menggembar-gemborkan secara massive
sedikit keberhasilan dari visi politik tersebut. Misalnya memuat secara
intensif di surat kabar lokal maupun nasional tentang bagaimana para
PNS diwajibkan membaca al Quran selama 10-15 menit sebelum jam kerja
dimulai atau mewajibkan siswi beragama Islam memakai jilbab. Secara
kultural apa yang dilakukan tersebut merupakan bagian dari perintah
agama Islam yang semua muslim tentu bersepakat tentangnya. Akan tetapi,
apakah membaca al Qur’an selama 10-15 menit dan mewajibkan memakai
jilbab merupakan kerangka moral yang benar-benar maujud di Indramayu?
Tentu tidak. Kedua contoh tadi sekadar tanda-tanda tentang religiusitas
belaka. Tanda adalah citra tentang sesuatu yang tidak memiliki rujukan
substansial di dunia nyata. Tanda semacam itu, menurut Umberto Eco,
dapat dipahami lewat teori Semiotika yang berbicara tentang bagaimana
sekumpulan tanda digunakan untuk berdusta
(Yasraf Amir Piliang: 2003)
Untuk
mengukur bahwa sebuah pemerintahan dalam konteks Negara, Propinsi,
Kabupaten/Kota, Kecamatan, Desa/Keluruhan yang termuat juga di dalamnya
Departemen, Dinas dan Seksi-seksi memang benar-benar merujuk kepada
kerangka moral yang nyata adalah dengan membandingkan keberadaan sejumlah tanda tertentu dengan ketiadaan lawan dari tanda-tanda tadi.
Contohnya adalah membandingkan frekuensi dan intensitas PNS dalam
membaca al Qur’an dengan ketiadaan kurupsi atau pungli dalam suatu
entitas pemerintahan. Jika frekuensi dan intensitas membaca al Qur’an
tersebut berbanding lurus dengan ratusan dugaan korupsi serta vonis
bersalah karena korupsi maka, tanda-tanda tadi hanyalah tanda-tanda yang
digunakan untuk berdusta. Itu artinya bahwa entitas pemerintahan pada
lapisan yang tertentu itu telah berdusta kepada rakyat.
Dalam
konteks Indramayu tanda-tanda kedustaan tersebut bersifat menyebar
mulai dari Yance, Suhaeli (mantan Kadisdik Indramayu yang divonis
bersalah namun tidak dikurung), Dinas, Kecamatan, Desa atau Kelurahan.
Yance, misalnya. Tanda tentang kesalehan serta penghargaan akhlaqul qarimah
yang diterimanya berbanding lurus dengan dugaan korupsi dalam PLTU
Sumuradem. Jadi, keberadaan tanda (aklaqul qarimah) tidak dibarengi
dengan ketiadaan lawan tanda yang bersifat amoral (dugaan korupsi). Lalu
mengapa Yance dan kroni-kroninya tak pernah tersentuh hukum, malah
tetap leluasa memproduksi dan mentransformasikan tanda-tanda kedustaan?
Di sinilah pentingnya memahami apa itu Struktur Yance.
Struktur Yance
ini dibangun berdasarkan pengelolaan rasa takut dan dijaga lewat
pemberian sangsi positif (hadiah) dan sangsi negatif (hukuman). Sangsi
positif misalnya lewat pemberian pujian atau pembiaran terhadap tindakan
suka-suka bawahannya yang menyebabkan mereka dapat memperkaya diri
sekalipun berpotensi melanggar hukum. Semakin banyak yang melanggar
hukum, misalnya korupsi, maka semakin banyak pula terkumpul kartu As di
tangan Yance. Para loyalis Yance dikelola secara seperti ini, dan
mustahil mereka mau melaporkan dugaan korupsi Yance sebab mereka sendiri
pun tentu takut dilaporkan. Dan bagi orang-orang yang karena satu dan
lain hal berseberangan dengan Yance maka, tergantung bentuk dan jenis
“keberseberangannya’, biasanya mereka mendapatkan sangsi (hukuman)
seperti terlambat naik pangkat atau digantarkan (“dibuang” ke pedalaman
Gantar). Nah, nama orang-orang yang mendapat hadiah maupun hukuman dari
Yance itu kemudian dikomunikasikan ke seluruh jajaran PNS Indramayu
sehingga kemudian timbullah sebuah mekanisme pengaturan diri dari PNS
Indramayu seluruhnya. Inilah yang oleh Eep Saefulloh Fatah (1999)
sebagai proses rezimentasi, yaitu sebuah metode penguasaan dan dominasi
politik yang bekerja pada tataran psikologis segelintir orang yang
kemudian disebarkan secara lebih luas lagi melalui institusi pendidikan,
pelayanan publik, institusi keagamaan sampai ke lingkup kecil yaitu
keluarga.
Kotak Suara Pilgub Jabar 2013
Perolehan
suara Yance di Indramayu pada Pilgub Jabar 2013 nanti akan cukup
signifikan melalui PNS pada level struktural maupun fungsional yang
telah terkena sindrom Struktur Yance di atas. PNS pada dua level tadi
akan menyesuaikan diri dengan kehendak struktur tersebut dengan cukup
ditekannya satu tombol kecil yang berbunyi “Sangsi hukuman dan hadiah”.
Apa yang dikatakan dan dilakukan oleh hampir semua PNS tersebut terkait
langsung dengan sangsi hukuman dan hadiah itu dalam rangka, umpamanya,
bagaimana perolehan suara Yance di Indramayu harus mencapai 80 % sebagai
sebuah sasaran antara proses rezimentasi yang telah dimulai sejak tahun
2000 lalu. Secara lebih konkret bagaimana proses rezimentasi Struktur
Yance ini mengaktualisasikan diri adalah, misalnya, perkataan
Kepala Sekolah SMPN Unggulan Sindang, Sri Sunarti M.Pd pada acara
liputan khusus tentang SMPN Unggulan yang ditayangkan RCTV, Senin,
29/10/2012 +/- pk. 19.30 WIB yang mengatakan,” Pak
Yance itu Bapak Pendidikan yang diakui di Jabar dan insya allah
berikutnya diakui di nasional. Pak Yance itu gagasannya briliant”.
Dengan kalimatnya itu sebenarnya Sunarti sedang menyampaikan sebuah
citra (tanda) tentang Yance, bukan tentang sosok individual Yance yang
sebenarnya. Dalam Struktur Yance, Sunarti hanyalah salah satu dari
produsen tanda tentang Yance, di samping ribuan produsen tanda lainnya
dalam skala lebih luas yang bekerja melalui mekanisme pengaturan diri.
Orang-orang semacam ini kemudian memproduksi dan mentransformasikan
(menciptakan secara berulang-ulang) tanda-tanda baru yang merujuk kepada
aspek-aspek tertentu dari REMAJA untuk selanjutnya dikomunikasikan
lewat media lokal dan nasional bahwa tanda-tanda yang sebenarnya semu
dan palsu itu sebagai sebuah fakta.
Sebagai
kesimpulan penutup tulisan ini dapat dirangkum bahwa dengan menanamkan
rasa takut secara terstruktur terhadap PNS Indramayu yang itu dijaga
dengan pemberian sangsi positif (hadiah) dan sangsi negatif (hukuman)
Yance telah membelengu kehendak bebas PNS Indramayu sehingga sebagian besar dari PNS tersebut mengalami cacat moral (as morality disorder)
dalam artian epistemologi politik, yakni tahu soal berbagai
penyimpangan yang dilakukan Yance selama berkuasa tapi diam, atau tahu
soal itu namun hanya berani ngoceh dibelakang seperti anak kecil yang
mainannya diambil dan berharap mainan itu dikembalikan.
Referensi :
Harimurti Kridalaksana, Mongin Ferdinand de Saussure, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005
B. Herry Priyono, Anthony Giddens, KPG, Jakarta, 2002
Louis Althusser, Tentang Ideologi, Edisi terjemahan (Verso, London:1984), Jalasutra, Yogyakarta
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika, Jalasutra, Yogyakarta, 2003
Murtadha Muthahhari, Mengenal Epistemologi, Penerbit Lentera, Jakarta, 2001
Eep Saefulloh Fatah, Membangun Oposisi, Rosda, Bandung, 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar