Indramayu. KAMIS, 20/12/2012, gedung Pertemuan Bumi Patra (BP) Pertamina yang berada dalam wilayah Desa Singajaya Kecamatan Indramayu Kabupaten Indramayu menjadi saksi bisu politisasi Inspektorat bersama jajaran birokrasi Pemkab. Indramayu.
Dalam
gedung Pertemuan BP hadir Kepala Inspektorat beserta jajarannya,
Bupati, para Kepala Dinas/Kantor/Badan (SKPD/OPD), para Camat, para
Kepala Puskesmas, para Kepala Sekolah SMPN/SMAN/SMKN sekabupaten
Indramayu dan para Kepala Desa (Kuwu) sekebupaten Indramayu.
Inspektorat
mengumpulkan para Pimpinan atau Kepala jajaran birokrasi dalam agenda
formalnya adalah “Gelar Laporan Kinerja Tahunan Inspektorat”, tetapi
kemudian berubah menjadi politisasi birokrasi.
Di
antara paparan Inspektorat yang disampaikan antara lain, bahwa banyak
sekolah-sekolah yang belum menindaklanjuti temuan pemeriksaan regular
Inspektorat.
Bupati
disela-sela gelar Laporan Kinerja Tahunan Inspektorat, dengan percaya
diri dan meyakinkan, dihadapan para Kepala Dinas/Kantor/Badan, Camat,
Kepala Puskesmas, Kepala Sekolah SMPN/SMAN/SMKN dan Kuwu-Kuwu,
mengatakan, “Satu Buka Dua Coblos Tiga Tutup”. Selanjutnya Bupati
Indramayu Hj. Anna Sophanah menyatakan (kurang lebih substansinya),
bahwa kalau Pak Yance terpilih menjadi Gubernur, maka saya (Hj. Anna
Sophanah – red) akan mengundurkan diri menjadi Bupati karena harus
mendampingi Pak Yance jadi Gubernur. Oleh karena itu, Wakil Bupatinya
akan diberikan kepada Ketua AKSI (Asosiasi Kuwu Seluruh Indramayu).
Ini
artinya, Wakil Bupati H. Drs. Supendi, MSi naik menjadi Bupati
menggantikan Hj. Anna Sophanah kemudian Wakil Bupatinya akan diserahkan
kepada Ketua AKSI melalui mekanisme kesepakatan Legislatif Indramayu.
Pernyataan
Bupati Hj. Anna Sophanah tersebut juga dibenarkan dan diakui oleh salah
satu Kepala SKPD yang hadir dalam gelar Laporan Kinerja Tahunan
Inspektorat di gedung BP tersebut.
Direktur
Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) O’ushj.dialambaqa
menjelaskan, itu sudah merupakan politisasi birokrasi dan atau PNS
(Pegawai Negeri Sipil), dan sudah merupakan brains woshing terhadap para
PNS dan Kuwu-Juru yang berada dalam jajaran birokrasi Pemkab. Indramayu
di bawah Bupati – Yance. Ini sudah merupakan pelanggaran berat, yaitu
Bupati melanggar Sumpah Jabatannya, melanggar kewenangan jabatannya dan
melanggar dan atau penyalahgyunaan jabatannya.
Tugas,
kewajiban dan kewenangan Bupati bukan untuk mempolitisasi birokrasi dan
bukan pula untuk melakukan brains woshing terhadap PNS, karena PNS
adalah Abdi Negara, Abdi Masyarakat dan pelayan publik, bukan abdi
Bupati – Yance dan bukan pula pelayan Bupati – Yance, semua harus berada
dalam koridor tugas dan kewajiban dalam tatanan dan tata Negara kita.
Jika
Bupati Hj. Anna Sophanah mengerti peraturan perundang-undangan dalam
penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan ketatanegaraan kita, maka
Bupati Hj. Anna Sophanah jelas-jelas juga melanggar UU No. 32/2004 yang
telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 12/2008 tentang
Pemerintahan Daerah, PP No. 79/2005 tentang Pedoman Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaran Pemerintahan Daerah, Permendagri No. 13/2006
yang telah diubah kedua kalinya dengan Permendagri No. 21/2011 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, UU No. 17/2003 tentang Keuangan
Negara, UU No. 2/2008 yang telah diubah kedua kalinya dengan UU No.
2/2011 tentang Partai Politik.
Ketika
Bupati Hj. Anna Sophanah mengatakan, satu buka dua coblos tiga tutup.
Ini artinya, coblos saja no.2, di mana calon Gubernur dengan no. urut 2
adalah DR. H. Yance (Irianto MS Syafioedin – nama pada ijazah S-1 UNPI
Cianjur (Kelas Jauh di Pendopo Indramayu) versi verifikasi faktual
Panwaslu Jabar), adalah sudah merupakan doktrin dan atau intruksi secara
hirarkis birokratif yang tak terbantahkan.
Yang
menggelikan adalah justru terhadap Inspektorat itu sendiri, di mana
Lembaga tersebut adalah mempunyai kewajiban, peran dan fungsi sebagai
penyelamat keuangan Negara, dalam hal ini Inspektorat sebagai auditor
internal atau internal audit dalam tata kelembagaan pemerintahan daerah,
sekalipun Inspektorat di bawah Bupati, tetapi Inspektorat justru
mempunyai otoritas dan kewenangan untuk melakukan audit terhadap kinerja
Bupati termasuk dalam penggunaan keuangan dana APBD.
Oleh
karena itu, sekalipun hasil pemerikasaan Inspektorat terhadap SKPD/OPD
dan Pemerintahan Desa harus dilaporkannya ke Bupati, bukan berarti
Inspektorat berada dalam ketiak Bupati.
Lantas
bagaimana ceritanya kemudian Inspektorat menguraikan bahwa hasil
pemeriksaan dan temuannya masih ada yang belum ditindaklanjuti.
Seharusnya, ketika Bupati mengatakan satu buka dua coblos tiga tutup,
Inspektorat melakukan teguran terhadap Bupati. Lalu bagaimana ceritanya
Inspektorat mengatakan bahwa temuan hasil pemeriksaannya terhadap
SKPD/OPD/Sekolah/Desa masih ada yang belum ditindaklanjuti, ketika
Inspektorat sendiri memilih gedung BP untuk menyampaikan ekspose hasil
pemerikasaannya terhadap SKPD/OPD/Sekolah/Desa yang kemudian menjadi
ajang politisasi PNS dan atau birokrasi.
Bukankah
apa yang dilakukan Inspektorat dalam kegiatan di gedung BP itu sendiri
telah melanggar peraturan perundang-undangan, yaitu UU No. 17/2003
tentang Keuangan Negara dan Permendagri No. 21/2011 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah, karena dengan kegiatan yang dilakukan dalam
gedung BP, berarti dana APBD keluar untuk membiayai kegiatan tersebut
mulai dari sewa gedung dan makan minum, padahal kegiatannya lebih
merupakan politisasi PNS dan birokrasi.
Jika
Inspektorat kemudian lebih suka menggunakan gedung di luar Ruang Data
Pendopo atau di luar Ruang Bapeda, dalam hal ini gedung BP atau
dikemudian hari di hotel, maka rekomendasi apa mengenai efisiensi dan
efektivitas anggaran atau APBD dalam penyelanggaraan pemerintahan.
Sesungguhnya, apakah Inspektorat sebenarnya mengerti atau paham betul
dengan definisi dan filosofi mengenai efisiensi anggaran dan efektivitas
anggaran dalam penyelanggaraan birokrasi pemerintahan.
Jika
kemudian Inspektorat seperti sekarang ini merupakan perpanjangan tangan
kepentingan politik kekuasaan Bupati – Yance, dan merupakan mata dan
telinga Bupati, maka sesungguhnya apakah Inspektorat mengerti tentang
sebuah sistem pengawasan dan sistem keuangan Negara?
Apakah
sebenarnya mengerti, tetapi karena demi keamanan jabatan dan kenyamanan
kepentingan Bupati, maka kemudian tidak mau tahu. Lebih baik melacurkan
diri daripada harus terancam keamanan dan kenyamanannya.
Jika
sudah begitu, ini Negara salah asuhan. Ada dan tiada Inspektorat adalah
sama saja, di mana APBD terus-terusan dibobol dan dijebol, dan
Inspektorat tetap melakukan window dressing agar publik tetap terlelap
kendatipun penuh kuman di depan matanya.
Pernyataan
Bupati Hj. Anna Sophanah yang menyatakan bahwa bila Pak Yance jadi
Gubernur Jabar nanti, maka jabatan Wakil Bupati diserahkan kepada Ketua
AKSI, karena Bupatinya akan mundur untuk mendapingi Yance di gedung Sate
dengan mekanisme di Legislatif (DPRD) Indramayu, hal ini menunjukkan
bahwa para anggota Legislatif dan semua Fraksi yang ada di Legislatif
berada di bawah telapak kaki Bupati – Yance.
Bupati
mengatakan seperti itu, agar para Kuwu, terutama Ketua AKSI berjuang
mati-matian agar Yance menang dalam Pilgub Jabar 2013, sehingga akan
menjadi Gubernur, kemudian para Kepala Desa (Kuwu-Kuwu) yang idiot itu
mau saja dibodoh-bodohi oleh Bupati yang tak mau mengerti dengan
peraturan perundang-undangan.
Bupati
memposisikannya sebagai Raja, sehingga semua titah dan kemauannya harus
dipatuhi oleh semua orang, dalam hal ini Legislatif. Ambisius Bupati –
Yance dalam Pilgub nanti menang mutlak atau menang dengan 85%, sehingga
birokrasi dijadikan mesin politik dan mesin uang untuk kekuatan money
politics.
Memangnya
semua masyarakat, publik dan berbagai elemen massa sebagai konsituen
semuanya bisa dibeli. Akankah kekuatan money politics Yance masih ampuh
diterapkan di publik luas masyarakat Jawa Barat, bahkan di Indramayu
sendiri? Kita lihat nanti!**Tim KJ1001***.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar