PTK

Sistem Validasi PTK - LOGIN

Senin, 07 Januari 2013

WATAK STRATEGI POLITIK PEMENANGAN YANCE

"Optimistis saya menang, kalau tidak, bunuh diri saja. Kalau tidak ada tantangan gantung diri saja," kata Yance di sela-sela Rapimnas Partai Golkar, Hotel Borobudur, Jakarta, Senin (29/10/2012).
Kutipan di atas adalah perkataan Yance yang dimuat di media online:  Inilah.Com, Senin, 29 Oktober 2012, dan Saya tertarik untuk mengulas kalimat tersebut menjadi sebuah tulisan yang menggambarkan beberapa kemungkinan strategis dan taktis persepsional terkait pencalonan Yance menuju Gedung Sate. Kemungkinan strategis dan taktis persepsional di sini adalah sebuah bayangan dalam pemikiran Kita berupa prediksi masing-masing orang tentang karakter atau watak strategi politik pemenangan Yance menuju kursi Gubernur Jabar yang diturunkan dari sebuah teori. Jadi, Kita memprediksi secara teoretis
            Teori, selain berfungsi untuk menjelaskan dan mengontrol suatu fenomena tertentu, juga berfungsi sebagai instrumen mental untuk melihat dan memprediksi suatu kejadian tertentu di masa depan. Kalimat Yance di atas adalah kalimat yang bernuansa agresi, maka dari itu di sini Saya gunakan teori agresi. Salah satu teori agresi mengatakan bahwa jika individu mengalami frustrasi, ia akan melakukan tindakan yang menimbulkan ganguan pada benda atau orang lain. Frustrasi diartikan sebagai hambatan terhadap tingkah laku untuk mencapai tujuan, goal oriented behavior (Jalaludin Rakhmat: 1984). Selain itu, seseorang mengaktifkan dorongan agresif dalam dirinya hanya jika yang bersangkutan merasa dirinya tidak mampu mendapatkan sarana untuk memuaskan kebutuhan vitalnya (Barbara Krahe: 2005).
            Menurut Barbara Krahe dorongan agresif tidak sama dengan dorongan instingtif  yang secara deterministik membuat seseorang menimbulkan gangguan dan kerusakan, melainkan bersifat pilihan karena dorongan tersebut muncul hanya jika yang bersangkutan merasa dirinya tidak mampu mendapatkan sarana untuk mendapatkan kebutuhan vitalnya.
            Membaca pernyataan Yance di atas tentu Kita dapat menyimpulkan bahwa menjadi Gubernur Jawa Barat adalah kebutuhan vital baginya sebab di sana terdapat frase...kalau tidak, bunuh diri saja. Artinya, kalau menjadi Gubernur Jawa Barat bukan termasuk kebutuhan vital bagi Yance tentu tak mungkin muncul frase tersebut. Pertanyaannya adalah apakah jika tidak menang dalam Pilgub Jabar 2013 nanti Yance akan benar-benar bunuh diri atau justru akan menimbulkan gangguan pada benda dan orang lain, itulah yang akan Kita diskusikan.
Signifikansi
            Kita tentu masih ingat ketika pada Pilgub Jabar 2008 Yance gagal mendampingi Dany Setiawan sebagai Calon Wakil Gubernur. Waktu itu yang menjadi wakil Dany Setiawan adalah Iwan Sulandjana sehingga segera setelah penetapan pasangan tersebut, muncullah sebuah perilaku agresi berupa pembakaran baligho bergambar Dany Setiawan. Perilaku agresi tersebut timbul karena adanya hambatan terhadap Yance dalam mencapai tujuannya yakni sebagai Calon Wakil Gubernur.Berbicara perilaku agresi dalam politik Kita tentu tak bisa sekedar menumpukan suatu tindakan memberikan gangguan dan kerusakan pada benda maupun orang lain hanya kepada personal, misalnya bahwa pembakaran baligho tersebut dilakukan sebagai reaksi simpatisan individual atas gagalnya Yance menjadi Calon Wakil Gubernur. Perlu diingat bahwa yang bertarung dalam semua event suksesi adalah kelompok politik yang sengaja dibentuk dengan semua rencana programnya, dari mulai program pemenangan hingga rencana antisipasi kekalahan. Jadi, kelompok politik adalah kelompok teratur yang berbeda dengan kerumunan.
Jika terjadi konsentrasi kerumunan maka etika dan motivasi yang mengatur serta mendorongnya sangat beragam. Misalnya saja ketika terjadi kerumunan orang dalam suatu kecelakaan lalulintas. Orang-orang yang berkerumun itu datang ke sana dengan banyak motivasi dan bersifat kebetulan. Hal itu tentu berbeda dengan event proses pergantian kekuasaan yang serba terumuskan secara kolektif dan struktural.
Menurut Durkheim struktur adalah norma-norma yang mengatur individu-individu sebagai bagian dari kolektivitas sehingga etikanya adalah etika bersama. Secara normatif, perbuatan pembakaran tersebut adalah dosa politik kolektif sebab sejak awal tak ada yang berusaha untuk mencegah perbuatan tersebut. Atau dalam istilah kriminologi, bila seseorang mengetahui suatu rencana yang memenuhi unsur pidana tapi orang tersebut mendiamkan maka orang tersebut juga masuk dalam kategori bersalah karena, mengetahui tapi mendiamkan. Makanya, berbicara perilaku agresi dalam politik berarti berbicara perilaku agresi kolektif yang termuat ke dalam strategi dan taktik politik pemenangan yang, mengacu kepada ungkapan Krahe di atas, merupakan sebuah pilihan.
            Pilihan untuk menjadi agresif ini bukan tanpa dasar mengingat bahwa terdapat banyak hambatan yang mengitari Yance seperti, rendahnya tingkat popularitas yang itu juga berarti bahwa akseptabilitas terhadap Yance pun sangat minim. Selain itu masih ada hambatan lain berupa dugaan korupsi serta kasus penempelan foto Yance di al Qur’an yang tersimpan di dalam memori kolektif masyarakat Jawa Barat. Nah, hambatan-hambatan inilah yang lebih tampak sebagai pendorong lahirnya kecemasan yang ekstrem dalam diri Yance. Maksudnya, saat ini Yance sama sekali tidak seoptimis apa yang dikatakannya akan tetapi dia dihinggapi kecemasan.
            Seseorang yang mengalami gangguan kecemasan umum hidup tiap hari dalam ketegangan yang tinggi. Ia secara samar-samar merasa takut atau cemas pada hampir sebagian besar waktunya dan cenderung bereaksi secara berlebihan terhadap stres yang ringan pun. Tidak mampu santai, mengalami gangguan tidur, kelelahan, nyeri kepala, pening dan jantung berdebar-debar adalah keluhan fisik yang paling sering ditemukan (Rita L Atkinson et. al)
Strategi politik berdasarkan kecemasan dan agresifitas
            Dalam konteks ini strategi dapat diartikan secara sederhana sebagai: apa yang harus dilakukan terkait tujuan memenangkan Pilgub Jabar 2013. Apa yang harus dilakukan merujuk kepada segenap sumber daya yang dimiliki dimana dalam situasi Yance sumber daya meliputi anggaran, Partai Golkar, Birokrasi dan kelompok kepentingan. Kelompok kepentingan mencakup koalisi partai, pengusaha, tokoh agama, tokoh pemuda dan tokoh masyarakat non agama (nasionalis)
            Selama ini mungkin orang mengira bahwa yang disebut sebagai status quo hanyalah Yance, keluarganya dan partai Golkar. Padahal tidak demikian. Yang disebut dengan status quo mencakup juga para pejabat, tokoh agama, tokoh pemuda, koalisi partai, pengusaha dan tokoh masyarakat non agama (nasionalis) yang selama Yance berkuasa hingga sekarang menikmati berbagi kemudahan dan fasilitas dalam rangka mencapai kemakmuran. Mereka-mereka inilah yang disebut sebagai status quo atau kelompok dominan berkuasa yang representasinya terwujud dalam diri Yance.
            Saat ini kelompok dominan tersebut sedang cemas. Sumber kecemasan yang paling menonjol adalah anggaran dan hambatan yang mengitari mereka secara kolektif yaitu rendahnya tingkat akseptabilitas, dugaan korupsi serta kasus penempelan foto di al Qur’an.
Berbicara anggaran, jika untuk menjadi seorang Kepala Desa atau Anggota DPRD Indramayu saja dibutuhkan anggaran sekitar 400 juta hingga 1 miliar, dan untuk menjadi Bupati membutuhkan anggaran sekitar 100 sampai 300 miliar maka, boleh jadi untuk bertarung di tingkat Pilgub membutuhkan anggaran berkisar 500 miliar sampai 1 triliyun. Uangnya dari mana? Lalu bagaimana bila tidak menang dalam Pilgub Jabar?
            Untuk lebih memperjelas hal ini dapat dibuatkan uraian sebagai berikut. Jika salah seorang dari Cagub yang maju ke Pilgub Jabar tersebut tidak bermasalah dengan agama (baca: tidak mempermainkan agama), tidak terkait dengan dugaan korupsi dan tidak terindikasi pernah melakukan kejahatan politik dalam arti luas terhadap rakyat maka, tingkat kecemasan dan rasa takut kalah yang diidap akan relatif kecil serta tidak akan menjangkau level sindrom atau paranoid. Artinya, sekalipun telah mengeluarkan anggaran besar namun kalah maka Cagub tersebut tidak akan dihantui oleh bayangan proses hukum yang mengintai pasca Pilgub.
            Oleh karena didorong oleh kecemasan dan rasa takut yang ekstrem, sebab bila tidak menang akan bunuh diri maka, strategi politik pemenangan yang dipilih Yance adalah strategi politik bermuatan agresi. Maksudnya, program-program pemenangannya akan lebih diwarnai oleh agresi seperti menyampaikan himbauan takut (ancaman) hingga ke menimbulkan gangguan terhadap benda maupun orang lain. Dan jika hal tersebut dilakukan maka sesungguhnya proses politik yang bebas serta demokratis telah dicabik-cabik. Dan hanya jika hal tersebut terjadi maka tentu bukan hanya kritik yang diberikan, namun mesti dihentikan dan dilawan...***
Referensi:
Jalaludin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, CV Remadja Karya, Bandung, 1984
Barbara Krahe, Perilaku Agresif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005
Hanneman Samuel, Durkheim, Kepik Ungu, Depok, 2010
Rita L. Atkinson et al, Pengantar Psikologi, Interaksara, Batam
>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar