"Optimistis
saya menang, kalau tidak, bunuh diri saja. Kalau tidak ada tantangan
gantung diri saja," kata Yance di sela-sela Rapimnas Partai Golkar,
Hotel Borobudur, Jakarta, Senin (29/10/2012).
Kutipan di atas adalah perkataan Yance yang dimuat di media online: Inilah.Com,
Senin, 29 Oktober 2012, dan Saya tertarik untuk mengulas kalimat
tersebut menjadi sebuah tulisan yang menggambarkan beberapa kemungkinan
strategis dan taktis persepsional terkait pencalonan Yance menuju Gedung
Sate. Kemungkinan strategis dan taktis persepsional di sini adalah
sebuah bayangan dalam pemikiran Kita berupa prediksi masing-masing orang
tentang karakter atau watak strategi politik pemenangan Yance menuju
kursi Gubernur Jabar yang diturunkan dari sebuah teori. Jadi, Kita
memprediksi secara teoretis
Teori,
selain berfungsi untuk menjelaskan dan mengontrol suatu fenomena
tertentu, juga berfungsi sebagai instrumen mental untuk melihat dan
memprediksi suatu kejadian tertentu di masa depan. Kalimat Yance di atas
adalah kalimat yang bernuansa agresi, maka dari itu di sini Saya
gunakan teori agresi. Salah
satu teori agresi mengatakan bahwa jika individu mengalami frustrasi, ia
akan melakukan tindakan yang menimbulkan ganguan pada benda atau orang
lain. Frustrasi diartikan sebagai hambatan terhadap tingkah laku untuk mencapai tujuan, goal oriented behavior
(Jalaludin Rakhmat: 1984). Selain itu, seseorang mengaktifkan dorongan
agresif dalam dirinya hanya jika yang bersangkutan merasa dirinya tidak
mampu mendapatkan sarana untuk memuaskan kebutuhan vitalnya (Barbara
Krahe: 2005).
Menurut Barbara Krahe dorongan agresif tidak sama dengan dorongan instingtif yang
secara deterministik membuat seseorang menimbulkan gangguan dan
kerusakan, melainkan bersifat pilihan karena dorongan tersebut muncul
hanya jika yang bersangkutan merasa dirinya tidak mampu mendapatkan
sarana untuk mendapatkan kebutuhan vitalnya.
Membaca
pernyataan Yance di atas tentu Kita dapat menyimpulkan bahwa menjadi
Gubernur Jawa Barat adalah kebutuhan vital baginya sebab di sana
terdapat frase...kalau tidak, bunuh diri saja.
Artinya, kalau menjadi Gubernur Jawa Barat bukan termasuk kebutuhan
vital bagi Yance tentu tak mungkin muncul frase tersebut. Pertanyaannya
adalah apakah jika tidak menang dalam Pilgub Jabar 2013 nanti Yance akan
benar-benar bunuh diri atau justru akan menimbulkan gangguan pada benda
dan orang lain, itulah yang akan Kita diskusikan.
Signifikansi
Kita
tentu masih ingat ketika pada Pilgub Jabar 2008 Yance gagal mendampingi
Dany Setiawan sebagai Calon Wakil Gubernur. Waktu itu yang menjadi
wakil Dany Setiawan adalah Iwan Sulandjana sehingga segera setelah
penetapan pasangan tersebut, muncullah sebuah perilaku agresi berupa
pembakaran baligho bergambar Dany Setiawan. Perilaku agresi tersebut
timbul karena adanya hambatan terhadap Yance dalam mencapai tujuannya
yakni sebagai Calon Wakil Gubernur.Berbicara perilaku agresi dalam politik Kita tentu tak bisa sekedar
menumpukan suatu tindakan memberikan gangguan dan kerusakan pada benda
maupun orang lain hanya kepada personal, misalnya bahwa pembakaran
baligho tersebut dilakukan sebagai reaksi simpatisan individual atas
gagalnya Yance menjadi Calon Wakil Gubernur. Perlu diingat bahwa yang
bertarung dalam semua event suksesi adalah kelompok politik yang sengaja
dibentuk dengan semua rencana programnya, dari mulai program pemenangan
hingga rencana antisipasi kekalahan. Jadi, kelompok politik adalah
kelompok teratur yang berbeda dengan kerumunan.
Jika
terjadi konsentrasi kerumunan maka etika dan motivasi yang mengatur
serta mendorongnya sangat beragam. Misalnya saja ketika terjadi
kerumunan orang dalam suatu kecelakaan lalulintas. Orang-orang yang
berkerumun itu datang ke sana dengan banyak motivasi dan bersifat
kebetulan. Hal itu tentu berbeda dengan event proses pergantian
kekuasaan yang serba terumuskan secara kolektif dan struktural.
Menurut
Durkheim struktur adalah norma-norma yang mengatur individu-individu
sebagai bagian dari kolektivitas sehingga etikanya adalah etika bersama.
Secara normatif, perbuatan pembakaran tersebut adalah dosa politik
kolektif sebab sejak awal tak ada yang berusaha untuk mencegah perbuatan
tersebut. Atau dalam istilah kriminologi, bila seseorang mengetahui
suatu rencana yang memenuhi unsur pidana tapi orang tersebut mendiamkan
maka orang tersebut juga masuk dalam kategori bersalah karena,
mengetahui tapi mendiamkan. Makanya, berbicara perilaku agresi dalam
politik berarti berbicara perilaku agresi kolektif yang termuat ke dalam
strategi dan taktik politik pemenangan yang, mengacu kepada ungkapan
Krahe di atas, merupakan sebuah pilihan.
Pilihan
untuk menjadi agresif ini bukan tanpa dasar mengingat bahwa terdapat
banyak hambatan yang mengitari Yance seperti, rendahnya tingkat
popularitas yang itu juga berarti bahwa akseptabilitas terhadap Yance
pun sangat minim. Selain itu masih ada hambatan lain berupa dugaan
korupsi serta kasus penempelan foto Yance di al Qur’an yang tersimpan di
dalam memori kolektif masyarakat Jawa Barat. Nah, hambatan-hambatan
inilah yang lebih tampak sebagai pendorong lahirnya kecemasan yang
ekstrem dalam diri Yance. Maksudnya, saat ini Yance sama sekali tidak
seoptimis apa yang dikatakannya akan tetapi dia dihinggapi kecemasan.
Seseorang
yang mengalami gangguan kecemasan umum hidup tiap hari dalam ketegangan
yang tinggi. Ia secara samar-samar merasa takut atau cemas pada hampir
sebagian besar waktunya dan cenderung bereaksi secara berlebihan
terhadap stres yang ringan pun. Tidak mampu santai, mengalami gangguan
tidur, kelelahan, nyeri kepala, pening dan jantung berdebar-debar adalah
keluhan fisik yang paling sering ditemukan (Rita L Atkinson et. al)
Strategi politik berdasarkan kecemasan dan agresifitas
Dalam konteks ini strategi dapat diartikan secara sederhana sebagai: apa yang harus dilakukan terkait tujuan memenangkan Pilgub Jabar 2013. Apa yang harus dilakukan merujuk kepada segenap sumber daya yang dimiliki dimana
dalam situasi Yance sumber daya meliputi anggaran, Partai Golkar,
Birokrasi dan kelompok kepentingan. Kelompok kepentingan mencakup
koalisi partai, pengusaha, tokoh agama, tokoh pemuda dan tokoh
masyarakat non agama (nasionalis)
Selama ini mungkin orang mengira bahwa yang disebut sebagai status quo hanyalah Yance, keluarganya dan partai Golkar. Padahal tidak demikian. Yang disebut dengan status quo
mencakup juga para pejabat, tokoh agama, tokoh pemuda, koalisi partai,
pengusaha dan tokoh masyarakat non agama (nasionalis) yang selama Yance
berkuasa hingga sekarang menikmati berbagi kemudahan dan fasilitas dalam
rangka mencapai kemakmuran. Mereka-mereka inilah yang disebut sebagai status quo atau kelompok dominan berkuasa yang representasinya terwujud dalam diri Yance.
Saat
ini kelompok dominan tersebut sedang cemas. Sumber kecemasan yang
paling menonjol adalah anggaran dan hambatan yang mengitari mereka
secara kolektif yaitu rendahnya tingkat akseptabilitas, dugaan korupsi
serta kasus penempelan foto di al Qur’an.
Berbicara
anggaran, jika untuk menjadi seorang Kepala Desa atau Anggota DPRD
Indramayu saja dibutuhkan anggaran sekitar 400 juta hingga 1 miliar, dan
untuk menjadi Bupati membutuhkan anggaran sekitar 100 sampai 300 miliar
maka, boleh jadi untuk bertarung di tingkat Pilgub membutuhkan anggaran
berkisar 500 miliar sampai 1 triliyun. Uangnya dari mana? Lalu
bagaimana bila tidak menang dalam Pilgub Jabar?
Untuk
lebih memperjelas hal ini dapat dibuatkan uraian sebagai berikut. Jika
salah seorang dari Cagub yang maju ke Pilgub Jabar tersebut tidak
bermasalah dengan agama (baca: tidak mempermainkan agama), tidak terkait
dengan dugaan korupsi dan tidak terindikasi pernah melakukan kejahatan
politik dalam arti luas terhadap rakyat maka, tingkat kecemasan dan rasa
takut kalah yang diidap akan relatif kecil serta tidak akan menjangkau
level sindrom atau paranoid. Artinya, sekalipun telah mengeluarkan
anggaran besar namun kalah maka Cagub tersebut tidak akan dihantui oleh
bayangan proses hukum yang mengintai pasca Pilgub.
Oleh karena didorong oleh kecemasan dan rasa takut yang ekstrem, sebab bila tidak menang akan bunuh diri
maka, strategi politik pemenangan yang dipilih Yance adalah strategi
politik bermuatan agresi. Maksudnya, program-program pemenangannya akan
lebih diwarnai oleh agresi seperti menyampaikan himbauan takut (ancaman)
hingga ke menimbulkan gangguan terhadap benda maupun orang lain. Dan
jika hal tersebut dilakukan maka sesungguhnya proses politik yang bebas
serta demokratis telah dicabik-cabik. Dan hanya jika hal tersebut
terjadi maka tentu bukan hanya kritik yang diberikan, namun mesti
dihentikan dan dilawan...***
Referensi:
Jalaludin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, CV Remadja Karya, Bandung, 1984
Barbara Krahe, Perilaku Agresif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005
Hanneman Samuel, Durkheim, Kepik Ungu, Depok, 2010
Rita L. Atkinson et al, Pengantar Psikologi, Interaksara, Batam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar